Kamis, 10 Desember 2009

Elegi Mengapai Cinta

Aku ingin bercerita mengenai lelaki usia paruh baya di kotaku. Usianya mungkin sekitar 40an. Ia termasuk orang yang pendiam dan tak banyak bicara. Mungkin karena alasan itu, tidak ada perempuan yang berani mendekatinya. Penampilannya sebenarnya tak jauh berbeda dengan orang-orang seusianya. Jaket coklat kesayangannya selalu ia kenakan dimana saja ia berada. Rambutnya hampir menutupi kedua kupingnya. Mungkin ia terlalu sibuk untuk sekedar pergi ke tukang cukur. Tapi sesibuk apakah dia? Setahuku, ia belum punya pekerjaan tetap. Yang aku tahu, lelaki itu sering kali pulang tiap malam dalam keadaan mabuk. Alasannya ia ingin mencari ketenangan jiwa.

Namun sekarang ia telah berubah. Jauh berubah. Kebiasaan minumnya telah lama ia tinggalkan. Jauh meninggalkan kehidupannya. Dan yang menemani hari-harinya adalah anjingnya. Ia begitu sangat menyayangi anjingnya. Ia bahkan rela menghabiskan uang lebih banyak untuk anjingnya daripada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baginya anjingnya adalah segalanya. Tiap pagi dan sore ia menghabiskan waktu bersamanya, meskipun hanya sekedar untuk berjalan-jalan di taman atau bermain-main di kebun rumahnya.

Suatu hari anjing itu jatuh sakit. Mungkin karena salah makan atau sebab lain. Saking khawatirnya, ia rela menunggui anjingnya yang sakit itu hampir seharian dan terus berharap agar anjingnya itu segera sehat dan bisa berjalan-jalan di taman seperti biasa. Dua hari telah berlalu, anjing kesayangannya itu beranjak sehat dan mulai bisa berjalan-jalan. Girang bukan kepalang ia melihat anjingnya yang telah berangsur sembuh itu. Ia berjanji, akan lebih baik lagi dalam memperhatikan kesehatan anjingnya. Hari-hari setelah itu berjalan seperti biasa. Tiap pagi dan sore ia menghabiskan waktu bersamanya berjalan-jalan di taman atau bermain-main di kebun rumahnya.

Beberapa waktu kemudian, ia rindu saat dimana ia sedang mencurahkan perhatian penuhnya kepada anjingnya. Kebutuhan untuk menyanyangi anjingnya itu kembali menghampirinya. Ia berharap dan menantikan datangnya waktu, kapan anjing kesayangannya itu akan sakit lagi. Hari berganti, namun sang anjing tetap sehat. Kebutuhannya semakin mendesak, dan ia sudah tidak sanggup lagi membendungnya. Maka diambillah sebilah pisau, dan seraya menghampiri anjingnya. Setelah dibelai-belai, lalu ia menorehkan luka di perutnya. Si anjingnya pun melolong kesakitan. Lelaki itu kemudian dengan penuh kasih sayang mengobatinya dan mengambilkan perban guna membalut lukanya.

Antara senang, iba dan haru lelaki itu terus berusaha keras untuk menenangkan lolongan si anjing. Mungkin torehan luka yang ia buat di perutnya terlalu dalam, sehingga tidak ia bisa menghentikan aliran darah yang keluar. Panik dan perasaan menyesalpun datang. Namun, kondisi anjing itu makin memburuk dan beberapa waktu kemudian ia merebahkan tubuhnya di lantai sambil menutup kedua matanya. Rupanya itu adalah saat terakhir lelaki itu dapat membelai anjingnya.

2 komentar: